Beranda | Artikel
Pembagian Air Untuk Bersuci
Senin, 14 September 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Musyaffa Ad-Dariny

Pembagian Air Untuk Bersuci merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 26 Al-Muharram 1442 H / 14 September 2020 M.

Download kajian sebelumnya: Hukum Memanjangkan Jenggot

Kajian Tentang Pembagian Air Untuk Bersuci

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang masalah yang berkaitan dengan ‎الطهارة الحكمية. Pada pertemuan-pertemuan yang sebelumnya Alhamdulillah kita sudah menyelesaikan masalah-masalah yang dengan الطهارة الحقيقيّة. Sebagaimana kita tahu bahwa Ath-Thaharah dibagi menjadi dua. Ada الطهارة الحقيقيّة dan ada juga ‎الطهارة الحكمية.

Ath-Thaharah Al-Haqiqiyyah

Yang dimaksud dengan ath-thaharah al-haqiqiyyah adalah membersihkan diri dari khabats atau najis yang memang terlihat, seperti kotoran manusia, darah, dan benda-benda yang najis lainnya. Membersihkan diri, baju, tempat dari hal-hal yang seperti ini disebutkan oleh para ulama dengan ath-thaharah al-haqiqiyyah. Dan yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini adalah ath-thaharah al-hukmiyyah.

Ath-Thaharah Al-Hukmiyyah

Yang dimaksud dengan ath-thaharah al-hukmiyyah ini adalah membersihkan diri hadats. Hadats adalah yang membatalkan kesucian seseorang dari sisi hukum, baik hadats kecil maupun hadats besar. Hadats ini sesuatu yang misalnya membatalkan wudhu atau membatalkan mandi besar, itu yang disebut sebagai hadats. Contohnya seperti kenut, keluarnya air seni, keluarnya air besar dari dubur, keluarnya mani. Ketika seseorang membersihkan dirinya dari hadats ini maka dia sebut telah melakukan thaharah hukmiyyah.

Lihat juga: Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu

Masalah yang berkaitan dengan thaharah al-hukmiyyah ini adalah:

Pembagian air

Dengan air inilah seseorang bisa menghilangkan hadats. Yaitu dengan berwudhu apabila ingin menghilangkan hadats kecilnya atau dengan mandi apabila ingin menghilangkan hadats besarnya. Air dibagi menjadi dua. Ada air yang thahur dan ada air yang najis. Ini sebagaimana disampaikan oleh sebagian ulama dan ini pendapat yang paling kuat dalam masalah ini.

1. Air yang suci dan bisa dijadikan untuk mensucikan

Air yang thahur maksudnya adalah air yang suci dan bisa dijadikan untuk mensucikan sesuatu. Itulah yang dimaksud dengan air thahur. Sedangkan air yang najis adalah air yang sudah berbuah karena terkena najis.

Air yang thahur ini biasanya berupa air yang muthlaq. Air muthlaq adalah air yang masih dalam keadaan asalnya. Yaitu air yang keluar dari bumi atau turun dari langit.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan untuk kalian dari langit air yang tujuannya untuk membersihkan kalian dengan air itu.” (QS. Al-Anfal[8]: 11)

Jadi ini adalah air dari langit dan bisa membersihkan manusia. Ini menunjukkan bahwa air yang turun dari langit itu suci dan bisa mensucikan. Begitu pula dengan air yang keluar dari bumi yang sifatnya masih asli. Masuk juga dalam air muthlaq ini air sungai. Begitu pula salju. Begitu juga الـــبرد (gumpalan air yang turun di awal-awal hujan). Di negera kita jarang kita melihat al-bard, tapi saya dulu sering melihat bard ini ketika saya belajar di Madinah. Di sana ketika awal-awal hujan biasanya ada gumpalan-gumpalan air. Terlihat ada seperti es batu, tapi kecil-kecil. Begitu pula dengan air sumur.

Kemudian disebutkan bahwa walaupun air-air muthlaq ini berubah sebagian sifatnya karena lamanya dia diam di suatu tempat. Misalnya danau, air yang ada di dalamnya adalah air muthlaq. Tapi kadang-kadang air danau ini berubah warnanya menjadi hijau mungkin karena ada plankton-plankton berwarna hijau. Orang dizaman dulu tidak tahu apa yang menyebabkan warna hijau tersebut, sehingga perubahannya disandarkan kepada warna lumut yang hidup disitu.

Begitu pula dengan air kolam. Kalau misalnya ada orang punya kolam yang besar kemudian dia memasukkan air di situ, ketika dia tinggal dan dia biarkan selama sebulan, walaupun tidak ada sesuatu pun yang dimasukkan ke dalam air itu, lama-lama airnya akan berubah warna. Perubahan yang disebabkan karena lamanya air itu ditinggalkan tidak mempengaruhi kesucian air itu dan air tersebut dihukumi sebagai air yang suci dan bisa mensucikan.

Atau apabila air tersebut berubah sebagian sifatnya karena campuran dari sesuatu yang sulit untuk menghindarkan air dari sesuatu tersebut. Maka perubahan sifat yang karena hal seperti ini tidak menjadikan air najis. Misalnya perubahan air karena tercampur oleh daun-daun yang berjatuhan. Kadang di pinggir-pinggir danau ada banyak pohon. Dari pohon tersebut akan jatuh daun-daun yang kering dan bisa jadi daun-daun yang kering tersebut akan mempengaruhi warna air. Ketika warna air berubah karena sesuatu yang sulit untuk dihindari seperti ini, maka air tersebut dianggap masih suci dan mensucikan.

Termasuk diantara air yang masuk dalam kategori air muthlaq adalah air laut. Air laut adalah air yang masih dalam keadaan aslinya dan air ini suci dan mensucikan. Dan dahulu sebagian sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada yang bertanya tentang air laut ini: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bolehkah kami berwudhu dengan air laut?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

“Laut itu sesuatu yang airnya bisa mensucikan (kalau air bisa mensucikan berarti dia otomatis suci), dan bangkainya halal.” (HR. Tirmidzi)

Ini menunjukkan bahwa air laut adalah air yang suci dan bisa mensucikan, bisa kita gunakan untuk berwudhu, bisa kita gunakan untuk mandi juga.

Air yang muthlaq ini bisa kita gunakan untuk bersuci sebagaimana disepakati oleh para ulama, tidak ada khilaf dalam masalah ini, walaupun sudah tercampuri sesuatu yang suci dan mempengaruhi air itu tapi pengaruhnya masih sedikit, tidak mempengaruhi secara penuh. Seperti apabila ada satu ember air kemudian tercampuri oleh gandum dan gandumnya masih sedikir, masih disebut sebagai air. Maka campuran seperti ini tidak ada masalah. Begitu pula dengan campuran sabun. Ketika kita mandi ada sabun yang masuk ke ember kita, tapi campuran dari warna atau bau masih terbilang sedikit, airnya tetap disebut sebagai air biasa, bukan air sabun. Berbeda kalau campuran sabunnya banyak, maka orang akan mengatakan itu air sabun, tapi kalau campurannya masih sedikit maka orang mengatakan itu masih air, bukan air sabun. Maka yang seperti ini masih dikategorikan sebagai air yang thahur, bisa digunakan untuk bersuci.

Dalilnya adalah dua hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits yang pertama adalah hadits Ummi Hani Radhiyallahu ‘Anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اغْتَسَلَ وَمَيْمُونَةَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ فِي قَصْعَةٍ فِيهَا أَثَرُ الْعَجِينِ.

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mandi beliau bersama istri beliau Maimunah dari satu wadah dan wadah tersebut ada bekas gandumnya.” (HR. Ahmad)

Ini mandi, mandi berarti bersuci, bahkan bersuci dari hadats besar. Tapi ternyata ada di dalam air tersebut campuran gandumnya.

Hadits yang kedua adalah hadits yang berkaitan dengan mandinya jenazah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memerintahkan orang yang memandikan putrinya dengan perintah:

اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا بِمَاءٍ وَسِدْرٍ, وَاجْعَلْنَ فِي اْلأَخِرَةِ كاَفُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كاَفُوْرٍ

“Basuhlah zainab sebanyak tiga kali dengan air yang dicampur dengan daun bidara. Dan jadikan di akhir basuhan ada campuran kapur barusnya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mencampur air dengan sesuatu yang suci tapi campuran tersebut campuran yang sedikit dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan air yang sudah bercampur ini untuk memandikan jenazah. Ini menunjukkan bahwa apabila ada air yang dicampur dengan sesuatu yang suci dan campuran tersebut masih terbilang sedikit sehingga tidak mempengaruhi nama air muthlaq itu masih disebut sebagai air tanpa embel-embel yang lain. Maka air yang seperti ini dianggap suci dan bisa mensucikan.

Adapun air muthlaq itu kita campur dengan sesuatu yang suci tapi sifatnya menjadi berubah sama sekali dan orang-orang tidak menyebutnya sebagai air saja, maka air yang seperti ini sudah tidak dikatakan sebagai air, tapi harus disebut dengan nama air tertentu. Seperti misalnya air yang dicampur dengan teh kemudian berubah warnanya seperti warna minuman teh, maka air tersebut tidak disebut sebagai air, tapi kita menyebutnya air tah atau teh saja.

Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan selanjutnya..

Download mp3 Kajian Pembagian Air Untuk Bersuci


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/49022-pembagian-air-untuk-bersuci/